Memutuskan Hubungan Kekeluargaan
Manusia takkan mencapai kehidupan tenteram tanpa pergaulan
di dalam suatu kelompok tertentu yang mengikat dirinya dengan hak-hak dan
berbagai kewajiban di dalam kelompok tersebut. Sebab, andaikata kehidupan
seorang manusia itu tanpa mengelompokkan diri pada suatu kelompok tertentu,
maka ia bagai kambing yang memisahkan diri dari “regunya”. Ia akan merana dan
hidup sengsara.
Yang dimaksud dengan kelompok di sini adalah hubungan dalam
bentuk kekeluargaan. Keluarga adalah bagian dari masyarakat yang merupakan
sumber kebahagiaan bagi masyarakat itu sendiri. Dengan melalui hubungan
kekeluargaan, seseorang bisa memperoleh hak-haknya yang patut dikabulkan.
Selain itu ia akan merasa tenteram dan aman di bawah naungannya. Karenanya,
Islam mengajarkan agar para pemeluknya selalu berpegang pada tata hubungan
kekeluargaan ini dan mendahulukan kepentingannya ketimbang kepentingan lainnya.
Di lain pihak Islam juga mengancam orang-orang yang memutuskan hubungan ini,
dan akan mendapatkan siksa yang pedih. Sebab, perbuatan tersebut merupakan
tindakan dosa.
Di dalam Islam, kekeluargaan mempunyai dua kata sinonim.
Terkadang diistilahkan dengan arham (famili), dan terkadang dengan istilah
dzawi’l-qurba (kerabat terdekat).
Di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan pengertian dzawi’l-qurba
ialah : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan”. (Q.S. 17 : 28).
Di dalam ayat lain Allah berfirman : “Mereka bertanya
kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah : ‘Apa saja harta yang
kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. (Q.S.
2 : 215).
Al-Qur’an juga memberikan prioritas tinggi terhadap kerabat
dekat untuk menerima perhatian (kebaikan) dan diutamakan kepentingannya lebih
daripada lainnya.
Di dalam Al-Qur’an dikatakan mengenai al-arham : “Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lainnya dan (peliharalah) hubungan silaturahmi”. (Q.S. 4 :
1).
Ayat tersebut memerintahkan kepada kita agar bertakwa kepada
Allah atau melaksanakan segara perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Setelah itu Allah memerintahkan menyambung hubungan silaturahmi dan memenuhi
hak-haknya, serta jangan memutuskan hubungan tersebut.
Di dalam hal ini Allah berfirman yang melarang pemutusan
hubungan silaturahmi : “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan
membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka
itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan
dibutakan-Nya penglihatan mereka”. (Q.S. 47 : 22-23).
Sehubungan dengan pengertian ayat tersebut,
Rasulullah bersabda :
الرّحم
معلّقة بالعرش تقول: من
وصلني وصله الله ومن
قطعي قطعه الله رواه
البخارى ومسلم
“Silaturahmi digantungkan di atas ‘Arasy (Menyambung
persaudaraan dengan orang-orang yang masih ada hubungan famili, baik yang muhrim ataupun
bukan. Caranya ialah dengan memberikan pertolongan baik berupa material ataupun
moril. Dan menurut pengertian secara globalnya ialah menolong orang
yang masih ada hubungan famili menurut kemampuan yang ada.) , ia berkata :
Barang siapa menyambungkan hubungannya, maka Allah akan menyambungkannya, dan
barang siapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskan hubungan
silaturahmi dari ‘Arasy (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.)”.
Rasulullah juga pernah bersabda :
مامن
ذنب اججدر ان يعجّل
الله لصاحبه العقوبة فى
الدّنيا مع ما يدخّرله
فى الاخرة من: البغي
وقطيعة الرّحم. رواه البخارى
والترمذى وابن ماجه
“Tak ada suatu perbuatan dosa apapun yang lebih berhak
disegerakan hukumannya oleh Allah di dunia ini, di samping yang akan
diterimanya di akherat, selain daripada perbuatan zina dan memutuskan hubungan
kekeluargaan” (Hadits riwayat Bukhari, Turmudzi dan Ibnu Majjah.).
Sabda Nabi yang lain :
لايدخل
الجنّة قاطع رحم (رواه
مسلم)
“Takkan bisa masuk surga orang yang memutuskan hubungan
kekeluargaan (silaturahmi)” (Hadits riwayat Muslim.).
Rasulullah juga menganjurkan kepada umatnya agar mempererat
hubungan silaturahmmi :
من
كان يؤمن با لله
واليوم الاخر فليكرم ضيفه،
ومن كان يؤمن با
لله واليو الاخر فليصل
رحمه، ومن كان يؤمن
با لله واليوم الاخر
فليقل خيرا أوليصمت (رواه
البخاري ومسلم)
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hormatilah tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
sambunglah hubungan silaturahmi. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim).
Rasulullah juga menerangkan dampak positif bagi
orang yang melakukan hubungan silaturahmi :
من
أحبّ ان يبسط له
فى رزقه، وينسأله فى
اثره فليصل رحمه (رواه
البخارى ومسلم)
“Barang siapa yang ingin agar rezkinya diperbanyak dan
umurnya diperpanjang, maka sambunglah pertalian silaturahmi” (Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim).
Hikmah yang terkandung di dalam pelaksanaan silaturahmi,
atau kenapa Islam mementingkan masalah ini karena adanya faktor penting, yaitu
faktor kejiwaan. Dari sini seorang akan mengharapkan kebaikan bagi kerabatnya
sendiri. Dan apabila tidak demikian, maka perbuatannya termasuk berdosa.
Seorang kaya, apabila tidak bersedia menyantuni kaum miskin
yang bukan keluarganya, maka kemarahan si miskin tersebut tidak akan seberapa
dibandingkan dengan apabila si miskin tersebut ternyata keluarganya
sendiri.
Pada jaman dahulu ada seorang penyair yang mengatakan
:
وظلم
ذوى القربى أشدّ مضاضة
على النّفس من وقع
الحسّام المهنّد.
“Perbuatan aniaya dari kerabat sendiri lebih pedih dirasakan
oleh hati daripada bacokan pedang yang tajam”.
Perbuatan aniaya yang dilakukan kerabatnya sendiri akan
menyebabkan berkobarnya rasadengki dan iri hati. Sebab, biasanya kaum
kerabat akan lebih mengetahui rahasia kerabatnya sendiri. Dan jika salah satu
kerabat sudah terjangkit penyakit ini, maka dengan mudah akan membalas sakit
hatinya kepada famili yang berbuat menyakitkan.
Islam bertujuan membangun masyarakat yang penuh rasa kasih
sayang dan saling menolong. Karenanya, Islam telah menentukan orang-orang yang paling berhak,
yaitu kerabat. Di dalam hukum waris, Islam telah menentukan tinggalan mayit
sebagai harta waris yang diberikan kepada kaum kerabat, sesuai dengan urutan
dekat-tidaknya ahli waris dengan mayit.
Allah berfirman : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S. 4 : 7).
Dan sebagai bukti yang kuat bahwa Islam memperhatikan
terhadap masalah kekeluargaan ialah, Islam mewajibkan kepada orang-orang yang
mampu agar memberikan nafkah kepada orang-orang tidak mampu dari kerabatnya
sendiri, baik anak, cucu; ayah atau kakek dan lain sebagainya.
Imam Ahmad Ibnu Hanbal mengatakan bahwa wajib
memberi nafkah kepada ahli waris yang miskin. Hal ini telah ditetapkan oleh
Al-Qur’an, yang pengertiannya mencakup wajib memberi nafkah kepada ayah,
dan wajib pula bagi seorang membayar upah penyusuan dan pemeliharaan
anak.
No comments:
Post a Comment